Hidup Bertumpuk di Gubuk 8×6 Meter, Keluarga Tati di Banjar Bertahan dengan Singkong dan Harapan

Image of Desain tanpa judul

BANJAR, pewarta.id – Di Dusun Cibeureum RT 04/02, Desa Balokang, Kecamatan Banjar, tersimpan kisah pilu yang menggambarkan perjuangan hidup di tengah keterbatasan. Sebuah gubuk reyot berdinding bilik bambu berukuran sekitar 8×6 meter menjadi tempat bernaung bagi sebelas anggota keluarga yang hidup dalam serba kekurangan.

Gubuk tersebut dihuni oleh Tati (61), suaminya, empat anaknya, satu menantu, serta empat cucu yang setiap hari harus berbagi ruang untuk tidur, makan, dan berkumpul dalam satu ruangan multifungsi. Tati mengaku telah menempati rumah tersebut selama tiga tahun setelah membelinya seharga Rp500 ribu, namun bangunan itu hanya berdiri secara numpang di atas tanah milik orang lain.

“Saya sudah tiga tahun tinggal di rumah ini, beli dulu seharga Rp500 ribu tapi rumahnya saja. Kalau tanahnya masih milik yang punya kebun,” ujarnya saat ditemui Selasa (21/10/2025).

Kondisi rumah yang rapuh dengan celah-celah bilik bambu yang lapuk membuat udara lembap dan aroma kayu basah menyelimuti suasana; sinar matahari menyeruak melalui lubang dinding, sementara pakaian dipasang seadanya di tali yang diikat di sudut ruangan. Pada malam hari, kesebelas penghuni rumah terpaksa tidur berhimpitan tanpa ruang privasi.

Baca Juga :  TNI AD Libatkan Prajurit Yonzipur untuk Sukseskan TMMD ke-126 di Ciamis

Keterbatasan tempat tinggal bukan satu-satunya ujian bagi keluarga ini. Persoalan pangan menjadi tekanan harian yang tak pernah lepas, terutama saat penghasilan tidak seberapa. Dengan mata berkaca-kaca, Tati mengenang masa ketika keluarganya terpaksa bertahan hidup hanya dengan singkong selama hampir satu minggu lantaran tidak memiliki uang untuk membeli beras. “Hampir seminggu makan singkong karena gak punya uang untuk beli beras,” ucapnya lirih.

Singkong yang dipetik dari area sekitar kebun menjadi pengganjal lapar di tengah naiknya harga kebutuhan pokok yang semakin sulit dijangkau. Kondisi tersebut diperparah karena tidak ada anggota keluarga yang memiliki pekerjaan tetap. Suami Tati hanya bekerja serabutan sesuai ada atau tidaknya panggilan dari warga sekitar, begitu pula anak-anaknya yang dewasa. “Kerja serabutan, kalau ada yang nyuruh kerja apa saja,” jelasnya.

Baca Juga :  Mendapatkan Kualitas Daging Kurban ASUH, Diskanak Garut Gelar Pelatihan Juru Sembelih Halal

Ketidakstabilan penghasilan membuat keluarga ini hidup dalam ketidakpastian ekonomi yang sangat rentan.

Di tengah tekanan kebutuhan hidup, cobaan semakin berat ketika anak bungsu Tati didiagnosis menderita batu ginjal dan harus menjalani operasi. Beruntung, biaya pengobatan dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Namun, kondisi kesehatan anggota keluarga itu menambah beban psikologis di tengah kesulitan finansial yang belum terselesaikan.

Selama tiga tahun hidup dalam kondisi memprihatinkan, bantuan sosial yang mereka terima hanya terbatas pada bahan pangan seperti beras, sedangkan bantuan untuk perbaikan rumah belum pernah mereka rasakan. “Bantuan paling beras, kalau bantuan untuk rehab rumah belum ada,” ucap Tati.

Kisah keluarga Tati mencerminkan potret nyata kehidupan masyarakat prasejahtera yang bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi dan minimnya dukungan perbaikan tempat tinggal. Di balik rimbunnya kebun yang mengelilingi gubuk reyot itu, keluarga besar ini masih menggantungkan harapan pada datangnya uluran tangan yang mampu menghadirkan kehidupan yang lebih layak.

Facebook Comments Box

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *