KPAID KABUPATEN TASIKMALAYA AKAN KIRIM NOTA KEBERATAN KE KOMISI YUDISIAL TERKAIT PUTUSAN KASUS NHN

Image of Ato kpaid

Daftar Isi

TASIKMALAYA, pewarta.id – Putusan Pengadilan Negeri (PN) Ciamis terhadap terpidana NHN dalam kasus persetubuhan dan pencabulan anak di bawah umur tengah menuai sorotan publik. NHN, yang diketahui merupakan seorang guru ngaji sekaligus tokoh agama di salah satu pondok pesantren di Kabupaten Ciamis, divonis 10 tahun penjara dan denda Rp100 juta.

Meski hukuman tersebut sesuai dengan tuntutan jaksa, Ketua Forum Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Daerah Jawa Barat sekaligus Ketua KPAID Kabupaten Tasikmalaya, Ato Rinanto, menilai masih terdapat sejumlah hal krusial yang tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim.

Menurut Ato, vonis tersebut belum mencerminkan rasa keadilan bagi korban, terlebih karena kasus ini memiliki berat substantif yang lebih kompleks. Ia menyebut, korban tindak kejahatan NHN bukan hanya satu orang, melainkan lebih dari enam anak di bawah umur, yang menjadi korban perbuatan berulang yang dilakukan pelaku dalam kurun waktu panjang.

“Putusan memang sudah sesuai dengan tuntutan jaksa, tetapi kami menilai ada hal-hal yang tidak dipertimbangkan majelis hakim. Pelaku bukan hanya melakukan kepada satu korban, tapi berulang kali dan terhadap banyak korban. Selain itu, pelaku adalah tokoh agama dan guru yang seharusnya melindungi anak-anak. Perbuatannya mencederai marwah lembaga pendidikan agama,” tegas Ato Rinanto.

Baca Juga :  Industri Keuangan Tasikmalaya Stabil, Investasi Melesat Tapi Pengaduan Konsumen Meningkat

Atas dasar berbagai pertimbangan tersebut, Ato menegaskan bahwa KPAID Tasikmalaya akan segera melayangkan nota keberatan kepada Komisi Yudisial (KY) untuk meminta evaluasi terhadap putusan yang dinilai belum memenuhi rasa keadilan bagi korban dan masyarakat.


Kronologi Kasus NHN

Sebelumnya, seperti diberitakan dalam sebelumnya, NHN (25 tahun) ditangkap polisi pada Juni 2025. NHN diduga melakukan pencabulan kepada anak di bawah umur secara berulang kali dengan modus janji manis pernikahan.

Pada awalnya, korban menolak ajakan pelaku, namun bujuk rayu dan janji palsu membuat korban berinisial MK akhirnya luluh. Kasus ini terungkap pada 14 Juni 2025, ketika orang tua korban tidak sengaja membuka aplikasi WhatsApp di laptop MK dan menemukan percakapan mencurigakan antara MK dan NHN.

Setelah didesak, MK akhirnya mengaku telah mengalami serangkaian tindakan asusila dari gurunya sendiri. Menindaklanjuti pengakuan tersebut, keluarga korban segera melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian.

Baca Juga :  Peringati Hari Lingkungan Hidup, Pemkab Ciamis Ajak Warga Stop Plastik Sekali Pakai

Pada 18 Juni 2025, polisi secara resmi menetapkan NHN sebagai tersangka. Berdasarkan hasil pemeriksaan, pelaku mengakui korban kini sudah dewasa namun masih di bawah umur saat kejadian berlangsung. Polisi juga menduga tindakan asusila ini telah berlangsung sejak tahun 2021.


KPAID Minta Hukuman Lebih Berat dan Berkeadilan

Ato menekankan bahwa profesi pelaku sebagai pendidik agama seharusnya menjadi faktor pemberat hukuman. Selain itu, perbuatan pelaku yang dilakukan berulang kali terhadap banyak korban harus dipandang sebagai kejahatan serius yang mencabik perlindungan anak dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan agama.

“Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi tindakan yang merusak masa depan anak-anak dan mencoreng kehormatan institusi pendidikan. KPAID meminta agar putusan ini dikaji ulang demi keadilan yang lebih komprehensif,” ujarnya.


Langkah Selanjutnya

KPAID Tasikmalaya menegaskan tengah mempersiapkan nota keberatan secara formal untuk diajukan ke Komisi Yudisial sebagai bentuk kontrol publik terhadap proses peradilan. Selain itu, KPAID juga berkomitmen akan terus mendampingi para korban, baik secara psikologis maupun hukum, agar proses pemulihan trauma mereka berjalan optimal. ***

Facebook Comments Box

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *