TASIKMALAYA, pewarta.id – Malam Apresiasi Seni yang digelar Komunitas Cermin Tasikmalaya (KCT) ditutup dengan sarasehan bertajuk “Bangga Menjadi Anak Indonesia”. Acara ini menghadirkan diskusi terbuka seputar kondisi anak di era digital serta solusi bersama yang bisa ditempuh orang tua, pemerintah, dan masyarakat.
Ketua KCT, Ashmansyah Timutiah atau akrab disapa Kang Acong, menyebut kegiatan ini sebagai refleksi terhadap situasi anak-anak masa kini. Menurutnya, bukan hanya anak yang perlu mendapat perhatian, melainkan juga orang tua yang menjadi pilar dalam membentuk karakter generasi muda.
“Banyak yang terlupa, bahwa menjaga anak bukan sekadar memberi makan dan sekolah. Anak-anak kita perlu dikenalkan kembali pada kekayaan budaya lokal, permainan rakyat, tanah, dan air sebagai identitas bangsa. Itu aset berharga yang tidak boleh hilang,” kata Kang Acong.
Ia menyoroti kekhawatiran meningkatnya kasus kriminalitas anak. Bahkan, muncul fenomena anak berani melakukan kekerasan hingga pembunuhan terhadap teman sebaya. Menurutnya, kondisi ini menandakan lemahnya mental generasi muda yang tidak lagi terbiasa berefleksi dan kehilangan ruang sehat untuk mengekspresikan diri.
“Banyak demo kemarin justru didominasi anak-anak di bawah umur. Mereka mudah terprovokasi. Belum lagi dampak media sosial yang makin memperlemah mental dan arah mereka. Anak-anak jadi kehilangan kendali,” ujarnya.
Karena itu, KCT menghadirkan Apresiasi Seni sebagai wadah alternatif. Anak-anak diberi ruang berekspresi lewat seni, budaya, hingga kegiatan membangun karakter. “Di sini mereka bukan hanya menari atau bermain musik, tapi juga belajar tanggung jawab, seperti membersihkan ruangan sendiri. Itu bagian dari pendidikan karakter,” tambahnya.
Menurut Kang Acong, persoalan lain yang menekan anak-anak adalah mahalnya biaya akses ruang ekspresi. Bermain sepak bola pun kini berbayar, mulai dari Rp100 ribu sekali untuk bermain futsal. Belajar musik atau tari rata-rata butuh Rp200 ribu per bulan. “Segala sesuatu dimaterialisasi. Padahal, kebudayaan itu seharusnya jadi kebanggaan, bukan komoditas,” tegasnya.
Ketua DPRD Kota Tasikmalaya, Aslim, yang hadir dalam acara ini menekankan pentingnya pola asuh orang tua. Menurutnya, problem anak tidak bisa dilepaskan dari keluarga. “Orang tua harus jadi benteng utama. Tanpa pola asuh yang baik, semua aturan pemerintah tidak akan efektif,” ucap Aslim.
Ia menegaskan pemerintah daerah sudah memiliki payung hukum berupa Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Ketahanan Keluarga. Regulasi ini bertujuan membangun keluarga yang sejahtera, religius, berbudaya, dan modern. Namun, implementasi di lapangan masih butuh konsistensi.
“Saya lihat banyak perda yang berhenti di atas kertas. Kalau tidak ditegakkan, ya percuma. Kita harus konsisten agar anak-anak bisa tumbuh dengan pijakan yang jelas,” ujarnya.
Aslim menambahkan, perkembangan teknologi menambah tantangan baru. Hampir semua anak memegang ponsel sejak dini. Jika orang tua tidak bijak mendampingi, gadget bisa jadi pintu masuk permasalahan. “Makanya perlu sinergi. Pemerintah, sekolah, dan keluarga harus bergerak bersama,” jelasnya.
Dari sisi aparat penegak hukum, Kasat Reskrim Polres Tasikmalaya Kota, AKP Herman Saputra, Mewakili Kapolres Tasikmalaya Kota, memaparkan untuk mencegah anak kita menjadi korban maupun pelaku, polres Tasikmalaya Kota lakukan inovasi melalui program “Polwan Mengajar”. Program ini menugaskan polisi wanita memberikan edukasi tentang karakter, disiplin, wawasan kebangsaan, dan kamtibmas di sekolah maupun madrasyah.
“Ini kolaborasi dengan Perkumpulan Guru Madrasah (PGM) dan Kemenag Kota Tasikmalaya. Kami ingin anak-anak punya benteng nilai positif sejak dini, sehingga tidak terjerumus tawuran atau narkoba,” kata Herman.
Program tersebut bahkan meraih penghargaan nasional PGM Award, dinilai sebagai sinergi efektif antara Polri dan dunia pendidikan. “Pencegahan jauh lebih penting daripada penindakan. Karena itu, kami menyasar anak-anak sejak dini,” tambahnya.
Sementara itu, aktivis perempuan dari Taman Jingga, Ipah Zumrotul Falihah, mengkritisi masih maraknya kasus anak di Kota Tasikmalaya. Menurutnya, banyak kasus terjadi karena salah asuh orang tua. “Pola asuh yang keliru membuat anak mencari jati diri di luar. Sayangnya, justru yang mereka temui adalah lingkungan negatif,” katanya.
Ipah menyoroti Perda Ketahanan Keluarga yang sudah berlaku sejak 2019 namun belum tersosialisasi dengan baik. “Kalau perda ini benar-benar diimplementasikan, pasti bisa menekan angka kasus anak. Masalahnya, banyak keluarga bahkan tidak tahu aturan itu ada,” ujarnya.
Diskusi sarasehan malam itu akhirnya merumuskan satu kesepahaman: anak adalah tanggung jawab bersama. Tidak bisa hanya dibebankan pada sekolah, pemerintah, atau polisi. Orang tua, komunitas, dan masyarakat harus saling bersinergi menjaga generasi penerus bangsa.
Acara ditutup dengan harapan agar Apresiasi Seni bisa terus digelar rutin, menjadi wadah sehat bagi anak-anak Tasikmalaya untuk menyalurkan energi dan kreativitasnya. “Kami ingin kegiatan ini jadi bukti bahwa ruang ramah anak itu masih bisa diciptakan. Tinggal kita, mau atau tidak,” pungkas Kang Acong.(dr)