Seni Bertutur dan Bermain: Sakola Motekar Bawa Ciamis Bersinar di Festival Permainan Rakyat Jabar

Image of Sekola motekar (1)
Sekola Motekar Ramaikan Festival Permainan Rakyat di Bandung

Bandung, pewarta.id — Di tengah riuh rendah panggung Festival Permainan Rakyat Jawa Barat 2025, sekelompok anak-anak dari Kabupaten Ciamis berhasil mencuri perhatian. Mereka datang bukan dengan kostum mewah atau teknologi pertunjukan canggih, tapi dengan sesuatu yang jauh lebih kuat: permainan rakyat, cerita rakyat, dan semangat kebersamaan yang menyentuh hati.

 

Adalah Sakola Motekar, komunitas seni anak yang dalam beberapa tahun terakhir aktif menghidupkan kembali kearifan lokal di wilayah Priangan Timur. Tahun ini, mereka dipercaya mewakili Kabupaten Ciamis dalam festival budaya tingkat provinsi yang digelar di Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat, Bandung. Penampilan mereka bertajuk Ngabungbang: Ulin di Buruan Mangsa Caang Bulan sukses membuat decak kagum penonton.

 

Sejak detik pertama anak-anak naik ke panggung, suasana langsung berubah. Lagu-lagu daerah, sorak sorai permainan tradisional, hingga kemunculan tokoh legendaris Nini Antéh membuat penonton hanyut dalam nostalgia. Tapi bukan sekadar nostalgia, karena apa yang dihadirkan Sakola Motekar sarat dengan nilai: dari kejujuran dalam permainan péclék dan congklak, hingga pentingnya introspeksi dalam kawih prang pring dan permainan sapintrong.

Baca Juga :  Pelatihan Public Speaking dan Teknik Presentasi Forum Anak Daerah (FAD) Provinsi Jawa Barat dalam Mencegah Kekerasan terhadap Anak

 

Di balik pementasan yang terlihat ringan itu, ada kerja panjang dan penuh cinta dari dua tokoh pembimbing utama: Deni Weje dan Mang Ebel. Keduanya adalah sosok yang sejak awal mempercayai bahwa anak-anak bisa menjadi pelaku budaya, bukan sekadar penerima warisan. “Kami hanya memfasilitasi ruang bermain yang bermakna,” ujar Deni, usai pementasan. “Lewat kaulinan, anak-anak belajar tentang hidup, tentang rasa, dan tentang menjadi manusia yang peka.”

 

Apa yang dilakukan Sakola Motekar bukan sekadar menghibur. Mereka mengingatkan bahwa permainan rakyat adalah bagian penting dari pendidikan karakter. Di sana anak-anak belajar menunggu giliran, menerima kekalahan, berani mencoba, dan menyadari bahwa semua itu dijalani bersama. Bukan dengan kompetisi yang keras, tapi dengan semangat silih asah, silih asih, dan silih asuh—falsafah hidup masyarakat Sunda yang mulai dilupakan.

Baca Juga :  Bank Indonesia Dorong Ekonomi Syariah Dengan Road To Festival Ekonomi Syariah (Fesyar)

 

Di era digital yang kian menggerus ruang bermain fisik, kehadiran Sakola Motekar terasa seperti nafas segar. Bahwa dari sebuah lembur di Ciamis, muncul anak-anak yang tidak hanya bisa memainkan gawai, tapi juga memainkan kecapi. Anak-anak yang hafal TikTok, tapi juga hafal lirik Tokécang. Mereka membuktikan bahwa tradisi dan modernitas tidak harus bertentangan. Kuncinya ada pada pendampingan yang bijak dan ruang ekspresi yang terbuka.

 

Festival Permainan Rakyat ini menjadi panggung pembuktian bahwa kearifan lokal tidak lekang oleh waktu—selama masih ada yang mau menjaganya. Dan penjaga itu, ternyata bisa datang dari tubuh-tubuh kecil yang penuh semangat. Anak-anak Sakola Motekar bukan hanya tampil membanggakan, mereka mengingatkan kita semua: bahwa bermain bisa menjadi bentuk tertinggi dari mencintai budaya.***

Facebook Comments Box

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *