JAKARTA, pewarta.id – Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) meluruskan kesalahpahaman publik yang belakangan berkembang terkait kewajiban pembayaran royalti atas pemutaran lagu di tempat usaha. Klarifikasi ini dikeluarkan menyusul pernyataan Ketua Asosiasi Music Director Indonesia (AMDI), Awan Yudha, yang menyebut bahwa pemilik kafe atau tempat usaha tidak perlu membayar royalti jika hanya memutar siaran radio.
Pernyataan tersebut, menurut PRSSNI, tidak sepenuhnya benar dan dapat menimbulkan kesalahpahaman di kalangan pelaku usaha serta masyarakat luas. Melalui siaran pers yang dirilis pada Selasa, 5 Agustus 2025, Sekretaris Umum PRSSNI, Candi Sinaga, menegaskan bahwa ada kekeliruan dalam menafsirkan regulasi yang mengatur hal tersebut, khususnya terkait Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
“Pandangan yang menyebut bahwa tempat usaha tidak wajib membayar royalti karena hanya memutar siaran radio adalah keliru. Ini bentuk interpretasi yang tidak tepat dan harus diluruskan,” tegas Candi Sinaga.
Kebingungan publik bermula dari pernyataan yang menyebut bahwa siaran radio telah membayar royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), sehingga tempat usaha yang memutar siaran tersebut dianggap tidak perlu membayar lagi. Namun, PRSSNI menjelaskan bahwa penggunaan lagu dalam konteks penyiaran dan dalam konteks pemutaran di tempat usaha adalah dua hal yang berbeda secara hukum.
Radio termasuk dalam kategori “penyiaran”, sedangkan pemutaran lagu di tempat umum untuk tujuan komersial — seperti di restoran, kafe, hotel, pusat perbelanjaan, atau tempat hiburan — masuk dalam kategori “komunikasi publik secara komersial”. Kedua bentuk penggunaan ini tunduk pada aturan yang berbeda dan masing-masing memiliki kewajiban membayar royalti.
“Sumber musiknya boleh sama, tapi tujuannya berbeda. Radio menyebarkan untuk publik secara luas, sementara tempat usaha menggunakannya untuk menciptakan suasana komersial yang menguntungkan bisnis. Maka kewajibannya tetap ada,” ujar Candi.
Menurut PRSSNI, kewajiban membayar royalti dalam konteks ini tetap berada di tangan pemilik tempat usaha, bukan pada lembaga penyiaran seperti radio. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 3 PP Nomor 56 Tahun 2021 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang menggunakan lagu atau musik secara komersial di tempat umum wajib memperoleh lisensi dan membayar royalti.
“Ini mencakup pemutaran lagu dari berbagai sumber, termasuk radio. Ketentuan ini berlaku agar para pencipta lagu dan pemilik hak cipta mendapatkan hak ekonominya secara adil,” kata Candi.
PRSSNI memastikan bahwa industri radio di Indonesia sejauh ini telah patuh pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Setiap pemutaran lagu oleh lembaga penyiaran radio sudah melalui mekanisme pembayaran royalti yang dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan LMK terkait.
“Radio selalu membayar royalti untuk lagu yang diputar. Ini bentuk penghormatan kami terhadap para pencipta dan musisi Indonesia,” ujarnya.
Namun, Candi juga mengakui bahwa saat ini masih ada diskusi yang terus berlangsung antara PRSSNI, LMKN, serta Kementerian Hukum dan HAM terkait penentuan tarif royalti yang proporsional untuk industri radio. Dalam diskusi tersebut, PRSSNI mengusulkan skema pembayaran royalti secara kolektif, sehingga radio-radio swasta dapat beroperasi secara lebih efisien dan tetap menghormati hak-hak pencipta.
PRSSNI menyadari bahwa informasi yang simpang siur mengenai aturan royalti dapat menyesatkan pelaku usaha, yang pada akhirnya bisa merugikan seluruh ekosistem musik dan penyiaran nasional. Oleh karena itu, klarifikasi ini dianggap penting untuk meluruskan persepsi dan mendorong kesadaran hukum di masyarakat.
“Kami mengimbau semua pihak, baik pelaku usaha maupun masyarakat, untuk memahami peraturan dengan benar dan menghormati hak kekayaan intelektual. Musik bukan barang bebas pakai. Ada jerih payah pencipta di baliknya yang harus dihargai,” ujar Candi.
PRSSNI berharap klarifikasi ini bisa memperkuat pemahaman publik tentang pentingnya membayar royalti dan menciptakan ekosistem musik yang sehat dan adil di Indonesia. Dengan kepatuhan semua pihak terhadap regulasi yang berlaku, baik pelaku usaha maupun industri penyiaran dapat terus tumbuh secara berkelanjutan.
“Kami yakin, jika semua pihak bersinergi dan patuh hukum, maka industri musik Indonesia akan semakin kuat dan para kreator lagu mendapat perlindungan serta penghargaan yang layak atas karya mereka,” tutupnya.[gpwk_rilis]
Catatan Redaksi:
Untuk informasi lebih lanjut terkait pembayaran royalti dan prosedur lisensi pemutaran lagu di tempat umum, pelaku usaha dapat menghubungi Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) atau instansi terkait lainnya.